Gambar pinjaman dari: http://javieralcalde.deviantart.com/
Beragamnya budaya yang dimiliki Indonesia merupakan suatu kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Kekayaan yang tidak semua bangsa di dunia memilikinya. Hanya beberapa saja bangsa yang mempunyai beragam suku budaya di dalamnya. Keberagaman budaya, bahasa, agama, dan pola pikir inilah yang banyak disebut sebagai multikulturalisme.
Keberagaman ini bukannya tanpa risiko. Dalam masyarakat yang multikultur, setiap permasalahan seringkali dengan mudah dikaitkan dengan perbedaan tersebut. Jika sudah perbedaan yang dikedepankan, maka sulit untuk dicarikan penyelesaiannya, karena masing-masing pihak akan merasa golongannyalah yang paling benar. Untuk itu dibutuhkan sikap yang saling menghargai untuk dapat bertahan dan hidup berdampingan di tengah gejolak dunia yang semakin heterogen yang diiringi dengan perubahan pola pikir dan gaya hidup orang-orangnya.
Menyebarkan kesadaran multikulturalisme merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk juga media. Dalam hal ini media haruslah mengedukasi masyarakat di Indonesia yang sangat beragam agar bisa memiliki kesadaran akan keberagaman itu, bukan membuatnya terkotak-kotak dalam pandangan sempit yang dibatasi sekat suku, agama, ras dan golongan. Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 mengamanatkan agar program siaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, antar golongan, dan hak pribadi maupun kelompok.
Sejauh ini media penyiaran yang sadar akan keberagaman ini adalah TVRI. “Di sinilah bedanya TVRI dengan televisi swasta. TVRI mempunyai tugas untuk memperkokoh kesatuan bangsa, juga merekatkan keanekaragaman budaya Indonesia,” tutur Hazairin Sitepu, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI. “Memang kita belum menemukan format acara yang yang pas, masih dalam tahap trial and error untuk menghasilkan program-program yang memperkokoh kesadaran akan keberagaman budaya,” tambahnya.
Acara TVRI memang banyak yang menampilkan keberagaman budaya, akan tetapi pengemasan acaranya dinilai belum menarik, terutama bagi kaum muda. “Penggemar TVRI banyak dari kalangan orang tua, namun acara untuk kaum mudanya masih belum menarik,” tutur Heru Anggisa Putera, mahasiswa Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Acara budayanya masih sebatas tari-tarian tradisional yang terkesan jadul dan tidak dikemas dengan baik,” tambahnya.
Hal ini berbeda dengan tampilan acara pada televisi swasta, yang banyak disukai oleh kaum muda tetapi minim muatan nilai-nilai budaya. “Kalaupun ada acara yang menampilkan budaya, hanya sebatas hiburan saja. Selain itu, biasanya acara seperti itu lebih menonjolkan tayangan komedinya seperti misalnya Opera Van Java atau Srimulat,” ujar Didin, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Walisongo Semarang. “Dulu ada acara wayang kulit, di televisi, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin karena sudah tidak ada pengiklan yang mau mensponsorinya lagi,” tambahnya.
Kalangan televisi swasta juga mengakui hal ini. “Karena kita free, kita dibayar oleh iklan bukan dibayar oleh orang yang berlangganan. Yang pasti, namanya televisi swasta tentu tujuannya cari profit. Rating yang tinggi merepresentasikan minat masyarakat dalam menonton televisi. Kalau rating suatu program tinggi, semakin tinggi pula nilai iklan yang dipasang di program tersebut,” aku Niel R. Tobing, Ketua Bidang Hukum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia.
Tuntutan untuk mendapatkan profit itulah yang kemudian membuat stasiun televisi swasta membuat format acara budaya yang lebih cair. “Mungkin suatu acara 80 persen candaan, tapi kan 20 persen ada isinya. Dengan candaan itu, otomatis orang akan nonton terus. Sedikit banyak moral yang disampaikan akan masuk. Singkatnya adalah bagaimana kami menyampaikan suatu tujuan yang baik tapi caranya tidak harus terlalu kaku,” tutur Lucky Febrianti, Public Relations Trans TV saat ditemui di kantornya.
Melenceng
Salah satu fungsi media adalah memberi informasi kepada khalayaknya, termasuk dalam keragaman budaya. Media memiliki kekuatan untuk memberikan pengetahuan dan memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang keberagaman budaya tersebut. “Sayangnya, dalam menyajikan sebuah acara yang berformat atau mengambil latar belakang budaya, seringkali budaya hanya dijadikan sebagai cangkang atau pemanis saja,” tutur Alip Kunandar, pengamat media dari UIN Sunan Kalijaga.
Gambar pinjaman dari http://paulussebastian.deviantart.com/
Alip mencontohkan acara Overa Van Java yang banyak disenangi berbagai kalangan. Menurutnya, acara tersebut menampilkan budaya hanya sebagai kemasannya saja, sedangkan isinya seringkali melenceng dari nilai-nilai budaya Indonesia yang sesungguhnya. “Yang lebih parah, televisi sering terjebak dalam stereotype yang justru menyesatkan, misalnya menggambarkan satu etnis tertentu sebagai etnis yang pelit, malas, bodoh, dan sebagainya,” tutur penulis novel-novel berlatar belakang multikulturalisme itu. “Mestinya, yang diangkat adalah kearifan budaya dari setiap suku yang ada, bukannya mencari kelemahan masing-masing yang pada akhirnya menimbulkan gesekan atau pandangan negatif pada etnis tertentu,” tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar