Jumat

Cepatnya Sebuah Kematian


Ada cerita, moga berguna....

Seusai dhuha pagi ini, ingatan saya melayang jauh ke masa-masa awal kuliah dan berpindah kos. Tersebutlah seorang wanita paruh baya berperawakan gemuk. Saya memanggilnya Bude Nar. Beliau adalah kakak dari Pak Gun, pemilik kos yang saya tinggali sejak awal kuliah. Kami para anak-anak kos mengenalnya cukup dekat. Dari seluruh anggota keluarga Pak Gun, beliau lah yang paling dekat. Karena beliau yang lebih sering mengurusi administrasi kos-kosn. 

Bude Nar cukup disiplin mengenai kebersihan kos kami. Jika plastik sampah mulai penuh, beliau akan mengingatkan agar kami segera membuangnya. Jika mengecek kamar mandi dan menemukan bekas sachet sampoo yang tidak di buang di tempat sampah, beliau langsung memperingatkan teman-teman kos yang di temuinya. Jika kamar mandi mulai kotor, beliau langsung mengingatkan penghuni kos untuk membersihkan. Selang sehari, biasanya kami pun langsung melakukan operasi eksekusi sesuai komando dengan personil penuh. Dan setelahnya, teh panas dan gorengan selalu tersedia di meja tamu, siap tuk kami santap.

Saya pribadi juga mengenalnya cukup dekat. Saya sering diminta tolong berbagai hal. Karena mungkin usia Bude Nar sudah menginjak lanjut, beliau agak kurang akrab dengan berbagai gadget yang dimilikinya. Jika ada trouble, saya sering dipanggil untuk mengutak-atik. Beliau juga sering bercerita tentang penyakit yang dideritanya setiap selesai check up.

***

Enam bulan yang lalu, saya mendapat tugas pengabdian masyarakat. Karena tinggal cukup jauh di luar kota, saya jarang pulang ke kos. Jika ada urusan yang cukup penting, barulah saya ke kota. Kurang lebih sebulan bertugas, saya mendapat kabar kalau Bude Nar jatuh sakit dan harus opname. Saya cukup kaget. Karena tak banyak yang bisa kami lakukan, kami hanya mendo’akannya agar segera sembuh. Akhirnya selang beberapa hari, beliau sudah baikan dan di ijinkan pulang.

Seusai masa tugas, saya kembali ke kos. Bude Nar sempat bercerita tentang penyakit terakhir yang dideritanya. Saya mendapati perawakannya sudah berubah dari semenjak saya berangkat bertugas. Beliau tampak kurus dan tertatih-tatih. Mungkin karena penyakit yang dideritanya.

Empat bulan yang lalu, saya mendapat tugas kerja keluar daerah. Selama itu saya tidak mengetahui kabar beliau. Sampai sebulan yang lalu saya kembali pun, teman-teman kos hanya tahu kalau beliau dirawat dikampung halamannya, Magetan.

Tiga hari yang lalu, saat sedang mencuci sepeda motor. Sayup-sayup saya mendengar suara memanggil nama saya. Beberapa saat, saya kebingungan mencari asal suara. Sampai akhirnya saya mengetahui asal suara, yaitu dari dalam rumah. Saya memastikan itu suara Bude Nar. Beliau meminta saya masuk. 

Setelah mengucap salam, saya masuk ke dalam rumah. Saya kaget luar biasa mendapati Bude Nar terbaring lemah di atas kasur. Hanya wajah kurusnya yang tampak. Saya sempat tak percaya, kalau ternyata selama ini beliau dirawat di rumah. Sambil berbicara lirih, beliau meminta tolong saya untuk memanggilkan salah seorang tetangga rumah. 

Tadi malam, pukul 22.15 saat sedang berdiskusi dengan beberapa teman, saya mendapat sms dari salah satu rekan kos. “Inna lillah wa inna ilaiha raji’un… Bude Nar wafat, barusan jam 10”. Dalam hati saya mengucapkan tarji’. Selama beberapa saat, saya tercenung mendengar kabar duka ini. Tak menduga jika beliau pergi secepat ni. Tak menduga jika kemarin adalah permintaan tolong terakhir beliau.

Sepulang ke kos, saya langsung ikut sholat jenazah bersama rekan kos, keluarga dan tetangga yang lain. Setelah di sholatkan, kami turut menghantar jenazahnya ke mobil ambulans. Rencananya, beliau akan dimakamkan di Magetan.

Kembali ke pagi ini, saya mencoba merenung. Menyelami makna yang tersimpul dalam perjalanan waktu ini. Kematian selalu mengingatkan akan batas waktu hidup kita. Melewati berbagai tahapan dalam hidup kita, kala menghampiri orang-orang yang kita kenal. Sangat cepat. Tak terduga.

Bagaimana jika selanjutnya kita? Apa kenangan yang ingin ditinggalkan di memori orang-orang yang mengenal kita?

Mari bermanfaat tuk sesama.

Sabtu

Ketulusan Warga Jogja



Ada cerita menarik pagi ini, moga menginspirasi....

Seperti biasa, pagi hari saya berjalan-jalan di sekitar kosan. Walaupun secara administratif masuk dalam wilayah Pemerintah Kota, namun daerah tempat saya tinggal tidak begitu ramai seperti layaknya wilayah lain. Suasana kampung masih kental terasa. Setiap pagi masih banyak warga yang berjalan jalan untuk merenggangkan badan. Di pinggiran jalan, beberapa ibu-ibu menjajakan jajanan tradisional dan sarapan pagi. Bapak-bapak penjual soto juga tampak menikmati racikan masakannya. Dagangan mereka tak pernah sepi. Benar-benar nafas kehidupan penuh harmoni.

Setelah berlari-lari kecil memutari perkampungan, tak beberapa lama saya dikejutkan dengan suara keras. 

Brakkkk.....

Sebuah kecelakaan terjadi tak jauh di depanku. Seorang gadis muda tampak terkapar di jalan. Posisi kepala belakang membentur aspal. Beruntung, helm putih si gadis masih melekat kuat. Sehingga dapat meredam kerasnya energi yang menghantam. Saya tidak melihat persis kronologi kejadian. Karena kecelakan itu begitu cepat. Secepat laju kendaraan si gadis.

Serentak ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada di sekitar lokasi langsung menghampiri gadis tersebut. Membopongnya ke pinggir jalan. Memberikan pertolongan pertama dan berusaha menenangkan kondisi. Si gadis tampak masih terkejut dengan kejadian yang menimpanya. Seorang bapak paruh baya segera membawakan air putih dari dalam rumahnya. Seorang ibu memastikan kondisi tubuh si gadis tidak terluka parah. Seorang bapak lainnya berusaha menegakkan tubuh si gadis dan melepas helm yang dikenakannya. Seorang ibu yang lebih muda mengusap-usap kening si gadis dan mengajaknya bicara. 

Tak lama, si gadis mulai tampak tenang. Bernafas pelan teratur. Dan mampu menjawab. Ia berterima kasih dan mengatakan dirinya tak apa-apa. Alhamdulillah..

Saya tertegun mengamati kejadian itu. Dalam hati saya mensyukuri dapat menyaksikan kejadian pagi ini. Saya bersyukur menjadi saksi kebaikan dan ketulusan dari bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut. Kebaikan dan ketulusan yang mungkin mulai luntur di tempat lain. 

Yeah, Yogyakarta di balik pacu derap langkahnya, tetap tak meninggalkan jati dirinya. Selalu menawarkan senyum tulus bagi siapa pun yang menghampirinya.

Yogyakarta selalu berhati nyaman. Bagi siapapun. Semoga sampai kapanpun. 
Terimakasih, saya belajar sesuatu hari ini...