Minggu

Sistem Pendidikan Inklusif

Wawancara dengan Muhammad Joni Yulianto
Mahasiswa S-2 National University of Singapore.

Pendidikan yang inklusif (terbuka) sudah seharusnya diterapkan dalam perguruan tinggi, terutama bagi perguruan tinggi yang didalamnya terdapat mahasiswa difabel atau berkebutuhan khusus. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Demikian diutarakan oleh Muhammad Joni Yulianto mahasiswa tuna netra yang sedang melanjutkan studi S2-nya di National University of Singapore.

Idealnya, menurut Joni, semua peserta didik termasuk difabel memperoleh sistem pendidikan yang adil. Adil disini diartikan sebagai sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. “Meskipun wacana untuk mengakomodasi difabel secara lebih baik melalui sistem pendidikan tinggi yang lebih ramah telah ada, namun pada prakteknya saya belum melihat ini sebagai sebuah upaya yang sistemik untuk betul-betul memberikan ruang yang adil bagi difabel,” ungkap mahasiswa yang kini aktif dalam Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).

Menurut Alumni University of Leeds, UK ini, belum ada pelayanan yang mendukung dan sistematis dari lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi terhadap mahasiswa difabel. Hal ini terlihat dari lemahnya aksesibilitas difabel yang sebagian orang memaknainya hanya sebatas ketersediaan teknologi seperti komputer bicara untuk tunanetra, lingkungan fisik yang memudahkan, serta bentuk akomidasi fisik lainnya. “Seharusnya aksesibilitas lebih dari itu, ia merupakan sebuah adaptasi yang dihasilkan dari sebuah sistem yang mempertimbangkan keberadaan peserta didik secara adil dengan keberbedaannya masing-masing, sehingga sistem itu bukan hanya berpihak atau mengakomodasi kelompok mayoritas saja, melainkan bersifat universal,” tegas joni.

Joni berharap, pemerintah serta penyelenggara pendidikan segera membentuk sebuah wadah pendidikan yang inklusif bagi semua peserta didik. “Berbekal inisiatif-inisiatif yang sudah mulai dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, saya mengajak agar mulai dipikirkan sebuah sistem yang inklusif yang benar-benar berusaha memberikan layanan pendidikan yang adil, bukan hanya bagi difabel melainkan bagi setiap warga negara yang berhak atas pendidikan,” pungkasnya.

Pendidikan yang Aksesibel Bagi Difabel



Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan setiap warga negaranya. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi dari pihak manapun. Begitu juga dengan orang-orang berkebutuhan khusus (difabel). Dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan mereka dengan masyarakat umum. Dengan begitu, orang tua bisa mendaftarkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah umum.

Hak pendidikan bagi difabel adalah sama dengan hak pendidikan orang kebanyakan. Mereka berhak untuk bersekolah di sekolah unggulan, mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki. Penyediaan sarana belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap kebutuhan mahasiswa difabel, sehingga mereka bisa mengakses materi-materi pembelajaran dengan baik.

Aksesibilitas sistem pendidikan dapat dilihat dari dua aspek yaitu material dan non-material. Aspek material yaitu aspek yang berbentuk fisik meliputi bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan aspek non-material dapat berupa penumbuhan lingkungan yang mengerti serta mendukung aksesibilitas sistem pendidikan untuk difabel. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengadaan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Pusat studi semacam ini telah ada di beberapa kampus, salah satunya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Menurut Handayani, wakil direktur PSLD UIN Sunan Kalijaga, di antara kampus lain di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga termasuk salah satu kampus yang sudah peduli meskipun sistem pendidikannya sendiri masih belum ideal. “Sekarang ini UIN Suka masih mencoba sistem pendidikan yang aksesibel untuk mereka. Paling tidak dengan berdirinya PSLD ini ada satu unit di kampus yang mengawal terlaksananya pendidikan yang aksesibel untuk difabel,” ungkapnya.

Aksesibilitas   
Selain fasilitas, masalah lain yang perlu segera ditangani adalah perlakuan terhadap mahasiswa difabel. Penerimaan terhadap mereka bermacam-macam. ”Ada yang positif, negatif, menolak, bahkan merendahkan,” kata M. Joni Yulianto, mahasiswa difabel yang kini sekolah di National University of Singapore. “Disinilah pentingnya sebuah motivasi yang luar biasa bagi kami (difabel) untuk bertahan dalam lingkungan yang demikian. Kita harus merubah mindset negatif masyarakat yang beranggapan difabel itu lemah,” tambahnya.

Sosialisasi terhadap seluruh dosen mengenai difabelitas juga perlu diadakan. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop serta pengadaan buku panduan cara mengajar untuk masing-masing dosen. “Perlu adanya motivasi serta perhatian dari semua dosen, jadi bukan dosen-dosen tertentu saja yang mengerti (difabel),” tutur Ambar, Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta.

Setiap dari mereka ingin mendapatkan perlakuan yang adil, tidak membedakan kelasnya. Praktek pemisahan kelas ataupun lingkungan sosial tidak diperkenankan dalam sistem pendidikan.  Selain kebutuhan untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, hal tersebut juga dapat menghambat mereka untuk berkarya dan mengeksplorasi kemampuannya. “Mereka harus bisa hidup di masyarakat yang riil yaitu masyarakat yang plural,” tambahnya. Oleh karena itu peran serta masyarakat juga sangat penting bagi perkembangan skill mahasiswa difabel.

Kemampuan anak-anak difabel sebenarnya sama anak-anak normal lainnya. “Tinggal bagaimana kita mengupas potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka bisa self eksperiment, mengembangkan serta memaksimalkan potensi-potensi yang mereka miliki,”tutur Handayani. Seyogyanya, sistem pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya. “Saya berharap Adanya kebijakan kampus yang lebih merespon kebutuhan mereka serta diterapkannya sistem akademik yang lebih menghormati difabel,” pungkasnya.

Sabtu

3 tips for handling emotion during a speech or interview


These tactics can help you (or your client) better control and manage emotions.



What should you do when you find yourself getting emotional during a speech or media interview? Here are three things to keep in mind:

1. Ask yourself whether it's OK to be emotional. Most audiences understand why a burn survivor might get emotional when discussing his or her injury. Exhibiting emotion may feel uncomfortable, but in some cases, it may actually enhance your delivery. So don't automatically try to squelch your emotion just because you're embarrassed by it.

Context matters. When a loving mother, a caring zookeeper, or a disabled burn survivor cries when telling their story, the public tends to understand and empathize. When House Speaker John Boehner cries (as he does regularly), well, that's a different story.

2. Take a moment. If you get choked up for a moment, stop talking for a few seconds instead of rushing through your remarks—just put your head down and pause for a few seconds, then look up and continue when you're ready.

If you're more than just momentarily choked up and fear you may not be able to continue at all, you may need to move on to the next option.

3. De-personalize and detach. When people get emotional during a talk, it's usually because they're too close to the material. By de-personalizing their stories, they're often able to get through the material much more easily.

For example, the mother might have said:
"I know that some people think virtual home schooling is strange, but I love my kids [begins to choke up] and other people have no right to judge me [begins to tremble and sob]. You know [begins to de-personalize], it's not just about me and my choice. Thousands of parents in our state have decided to pursue virtual schooling for their children, and there are several good reasons for that, such as…."
When emotional speakers make their content less concrete and more abstract, they can often proceed without emotion getting in their way. And once they're on more solid ground, they can return to the more emotional parts of their story—if and when they're ready.

Visit the Mr. Media Training Blog to see the 21 Most Essential Media Training Links. Brad Phillips is the author of the Mr. Media Training Blog and president of Phillips Media Relations, which specializes in media and presentation training.

Kembangkan Budaya Entrepreneur di Kampus !

Wawancara dengan Prof. Dr. H. Musa Asy'arie
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dibukanya keran pasar bebas seringkali ditanggapi negatif oleh sebagian besar masyarakat kita. Banyak yang mengeluh karena Usaha Kecil Menengah (UKM)-nya mengalami  kebangkrutan karena tidak mampu bersaing. Akibatnya pengangguran membengkak karena berkurangnya lapangan pekerjaan. Pemerintah juga tidak mungkin menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan berbagai kebutuhan masyarakatnya. Kalaupun ada, jumlahnya pun sangat terbatas. Jika kita ingin mengatasi pengangguran yang ada di negara kita, satu-satunya jalan adalah kita harus menciptakan orang yang bisa menciptakan pekerjaan. Demikian diutarakan Musa Asy'arie, pemilik PT. Baja Kurnia Klaten.

“Saya mengalami  tiga kali kegagalan berturut-turut dalam usaha saya. Tetapi saya tidak menyerah, saya bangun lagi bisnis yang pernah gagal dulu dengan visi baru dan tanpa bermodalkan uang sepeser pun. Karena saya yakin uang bukanlah modal utama dalam berbisnis, tapi yang paling penting adalah trust atau kepercayaan,” tutur Musa. Menurut pemenang Upakarti dari Presiden RI tahun 1991 ini, seorang entrepreneur harus memiliki kecerdasan untuk mengembangkan potensi berdasarkan kejujuran, kebersamaan, dan kemanusiaan, sehingga memiliki kekuatan untuk bersaing. “Entrepreneur itu bukan hanya bagaimana orang itu bisa mengembangkan peluang, tapi peluang itu bisa berwujud secara ekonomis dan memberi manfaat lebih luas bagi masyarakat,” tambah Musa.

Menurut pengusaha yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga ini, dunia pendidikan kita harus menyadari bahwa output-nya akan kembali ke masyarakat. Oleh karena itu perlu dididik untuk berpikir peka dalam membaca realitas. “Kalau nanti lulus dan pulang ke daerah masing-masing, mereka bisa membaca peluang yang ada. Jadi pendidikan kita jangan antirealitas,” pungkasnya. Tim UIN Suka

Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar Bebas

Dituntut Melahirkan SDM yang Mandiri


Globalisasi telah membuat batas-batas antar negara menjadi semakin kabur. Kini masyarakat dunia telah menjadi satu komunitas, pergerakan orang dan barang tidak lagi terhalang oleh sekat politis dan geografis. Orang dapat berpindah dari suatu belahan dunia ke belahan dunia lain dalam hitungan menit. Barang-barang hasil produksi suatu negara dengan mudah dapat ditemui di negara lain yang letaknya berjauhan. Hal tersebut meningkatkan ketergantungan antar negara untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Kondisi inilah yang mendorong dibukanya era pasar bebas.

Salah satu tindak lanjut dari adanya pasar bebas yakni penandatanganan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China, dimana negara-negara ASEAN bisa dengan bebas menjual produknya di China, begitu pun sebaliknya. Idealnya, ada keseimbangan pasar antara China dengan ASEAN. Akan tetapi kenyataannya, justru produk China yang lebih mendominasi pasar ASEAN, terutama di Indonesia. Sementara produk kita, tidak banyak yang bisa menembus pasar China.

Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia menunjukkan, ada beberapa sektor yang terkena dampak perjanjian ACFTA, di antaranya elektronika, furnitur, produk logam, permesinan, dan tekstil. Produk-produk China tampil dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang kemudian menyebabkan produk China mudah diterima konsumen Indonesia. Romli, seorang pengelola warung makan yang menggunakan handphone buatan China membenarkan hal ini. “Disamping murah, produk China banyak pilihannya. Selain itu fiturnya lengkap dan tampilannya tidak kalah dengan merk ternama,” tuturnya.

Kondisi ini jelas mengancam keberlangsungan industri kecil dan menengah dalam negeri. Apalagi produk China mulai menyaingi produk lokal seperti mainan anak-anak, pakaian, hingga peralatan rumahtangga sederhana. Bahkan, batik yang sudah diakui sebagai warisan budaya asli Indonesia, mulai disaingi oleh produk batik buatan China yang membanjiri pasar dengan harga yang lebih murah. “Untungnya, orang sudah tahu mana batik yang kualitasnya bagus dan mana yang murahan,” ungkap Parmi, pengrajin batik tulis di Pasar Beringharjo Yogyakarta, yang mengaku sementara ini belum merasa terancam dengan kehadiran batik buatan China.

Akan tetapi bila pemerintah membiarkan hal ini, tentu banyak UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dalam negeri yang terancam keberlangsungan usahanya. Menurut Rara Wulan Dwi, untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap produk luar dan tergulingnya UKM dari pasar bebas, pemerintah harus ikut turun tangan. ”Harus ada bantuan dari pemerintah dan dukungan dari semua elemen masyarakat agar UKM dapat bertahan,” ujar mahasiswi STIE YKPN Yogyakarta ini.

Terkait hal ini, Budi Santoso, Kepala Sub-Direktorat Ekonomi Kreatif Kementerian Perdagangan RI menuturkan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk lokal, seperti dengan mengikutkan produk-produk Indonesia dalam World Expo 2010.

Budi menambahkan, pemerintah telah melakukan antisipasi dengan membentuk Tim Peningkatan Daya Saing. Salah satu programnya adalah gerakan ‘Aku Cinta Indonesia’ yang bertujuan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. “Kadang-kadang ketika produk dan kualitas sama, kita masih memilih produk dari luar. Jika kita mau mengamankan pasar dalam negeri, tentu kita harus mau menggunakan produk bangsa sendiri. Pola pikir inilah yang harus kita rubah!” tandas Budi.

SDM Mandiri
Kalangan pengusaha juga harus memiliki rasa percaya diri dengan produk yang dihasilkannya. Begitupun dengan mahasiswa, sebagai calon entrepreneur muda jangan takut untuk terus berkreasi. Wahyu Aditya, pemilik studio Hello;Motion mencontohkan animasi adalah produk kreatif yang tidak memerlukan modal besar tetapi sangat potensial. “Salah satu produk animasi saya digunakan sebagai media promosi pariwisata ASEAN. Kalau ini digarap serius, potensinya sangat besar. Di Jepang, produk animasi seperti ‘Pokemon’ bisa menghasilkan total Rp. 150 trilliun,” paparnya.

Menurut Wahyu kuncinya adalah percaya diri. “Kita jangan terlalu minder atau mudah menyerah karena alasan-alasan klise, misalnya kita hanya seorang mahasiswa yang belum punya modal,” tutur pemenang International Young Creative Entrepreneur 2007 dari British Council ini.

Gagasan mendorong SDM yang kreatif dan produktif, didukung oleh Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, pengusaha yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurut Musa  dunia pendidikan memiliki  peran yang sangat penting dalam mencetak lulusan yang kreatif, produktif, dan mandiri. “Pendidikan harus memberi bekal kepada mahasiswa untuk dapat membaca trend dari kehidupan masyarakat, sehingga bisa membaca peluang-peluang bisnis ke depan. Bangsa kita memerlukan entrepreneur yang berpendidikan agar bisa bersaing dengan pelaku bisnis global yang pada umumnya berpendidikan tinggi,” tegasnya. Tim UIN Suka

KPI Bicara Soal Iklan

IKLAN MENDORONG PERILAKU KONSUMTIF!


Wawancara dengan Dr. Iswandi Syahputra, M.Si:
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
 

Periklanan di Indonesia telah menjadi industri yang terus berkembang. Hampir semua ruang publik dipenuhi oleh iklan. Akan tetapi banyak iklan yang mengabaikan etika, mendorong konsumerisme, membodohi, dan eksploitasi golongan tertentu.
 “Kita lihat misalnya ada beberapa iklan yang mengesampingkan aspek kejujuran dalam diri anak. Ada iklan yang mengajarkan kebohongan pada anak-anak. Ada juga iklan yang mengekploitasi dokter, atau mengekpoitasi anak. Memang terlihat menjanjikan, tetapi tidak sehat,” kata Iswandi Syahputra, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. “Iklan hari ini telah masuk dalam rawa-rawa industri. Dalam sistem itu, terkadang pembuat iklan tidak lagi berfikir apakah melanggar norma atau tidak, yang terpenting adalah bagaimana iklan itu dikemas secara menarik. Jika menarik, maka diharapakan akan banyak ditonton. Dengan banyak ditonton maka asumsinya akan banyak dibeli.” 
Menurut dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ini, iklan kita sama sekali belum mendidik masyarakat. “Idealnya, sebuah iklan dibuat untuk menginformasikan keunggulan sebuah produk sehingga dapat menarik konsumen, bukan mendorong orang berperilaku konsumtif.” Iswandi menyoroti, iklan telah mendorong orang belanja di luar batas kemampuannya. “Misalnya, fungsi dari handphone adalah alat untuk berkomunikasi. Namun karena gencarnya iklan, fungsinya berubah menjadi gaya hidup. Masyarakat membelinya lebih kepada status sosial.” Oleh karena itu, Iswandi mengharapkan Dewan Kode Etik Periklanan untuk segera  merevisi  kode etik periklanan. (Tim UIN Suka)

IdeKata, Sebuah Ide dari Kami


IdeKata adalah kumpulan mahasiswa yang memiliki minat di bidang penulisan. Di awali dari aktifitas penulisan berita reportase di rubrik Akademia, Surat Kabar Harian JogloSemar. Kini mulai bergerak menuju bidang lain seperti penulisan buku, pembuatan majalah dan sebagainya. Dalam rubrik IdeKata ini, kami akan menyajikan berbagai tulisan yang telah di muat serta tulisan-tulisan kami setelahnya. Semoga bisa menjadi manfaat untuk semua pembaca.

TIM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA

Pemimpin Redaksi :
Mufid Salim

Redaktur Pelaksana :
Irma Suryani

Reporter :
Ryan Afranata
Aprilia Nurohmah
Atik Dinarty Ary
Aka Mustafa Ghazali
Zaka Putra

Moh. Andra Afkhori
Lailis Sunaikah

Fotografer :
Abd. Kholiq

Pembina :
Alip Kunandar, M.Si,
Drs. Bono Setyo, M.Si



DUNIA IKLAN KITA,

KREATIF TAPI KURANG BERETIKA



Keberadaan iklan bagaimanapun sangat penting dan berpengaruh dalam menentukan posisi sebuah produk (barang dan Jasa). Tujuan iklan adalah untuk memperkenalkan produk dengan segala fungsi dan kelebihannya, sehingga pada akhirnya konsumen tertarik untuk membeli atau menggunakannya. Karena itu, iklan adalah “roh” bagi produk itu sendiri. Begitu pentingnya periklanan, bahkan ada yang menyebut tanpa iklan sebuah produk akan sulit bersaing. Produk juga sulit memposisikan dirinya dalam ‘belantara’ persaingan regional apalagi global jika melupakan iklan.

Tuntutan dan kebutuhan untuk beriklan didukung begitu beragamnya produk barang dan jasa, membuat ruang publik kita dipenuhi oleh iklan. Mulai dari iklan televisi yang nyaris tak pernah terputus, radio, koran, majalah, spanduk dan billboard, bahkan hingga ke gang dan warung-warung kecil. 

Padatnya ‘lalu lintas’ iklan ini mendorong penyedia dan pembuat iklan untuk membuat iklan semenarik mungkin agar mampu mencuri perhatian publik. Sayangnya, iklan yang ‘menarik’ ini seringkali diterjemahkan ke dalam bentuk iklan yang mengangkat tema-tema bombastis dan mengada-ada. Banyak iklan yang kemudian melupakan etika dan norma-norma dengan menampilkan tema yang tidak sesuai dengan budaya kita.

Dari segi kreatifitas, para pembuat iklan kita dianggap sudah cukup kreatif. Sutiman, seorang penjual jajanan mengakui hal itu. “Sebenarnya iklan di Indonesia itu bagus-bagus, bisa dilihat dari tayangan televisi dan spanduk-spanduk yang ada. Kalau bisa, saya juga mau dibuatkan iklan untuk dagangan saya dan jualan jamu istri saya,” katanya sambil tertawa.

Hanya saja, dari segi konten masih banyak yang mempertanyakan, bahkan ada yang merasa dirugikan oleh iklan. “Saya pernah terjebak dengan iklan gratis ringtone. Saya kira benar-benar gratis, ternyata setelah itu pulsa saya terkuras oleh SMS (layanan pesan singkat) yang tidak saya butuhkan,” kata Maman, seorang penjahit keliling. “Itu sih penipuan. Saya kapok, akhirnya saya buang saja kartunya dan beli yang baru,” tambahnya.

Indah Sulistyowati, mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta melihat iklan di Indonesia saat ini banyak yang tidak beretika. “Bukannya mengangkat keunggulan produknya, tetapi malah saling menjatuhkan. Ini kan menimbulkan pesan dari komunikasi yang kurang baik,” katanya. Menurut Indah, contoh iklan yang kurang beretika adalah iklan sebuah provider telepon seluler, “Yang satu membuat iklan, yang satu mengejeknya. Tidak ada etika yang baik dalam beriklan dan berkompetisi.”

Senada dengan Indah, Bangiati Kurniastuti, S.Pd, mengatakan iklan kita masih kurang mendidik. Kalaupun ada jumlahnya masih sedikit. “Pembuat iklan boleh saja berkreatifitas, tetapi harusnya bisa mendorong motivasi dan mengandung pelajaran yang bisa dipetik,” papar Guru SMK Putra Samoedra Yogyakarta ini. Bangiati juga menilai iklan telah menimbulkan dampak yang besar tehadap gaya hidup masyarakat. Meski begitu, ia mengaku jarang tertarik membeli barang dari iklan di TV, “Saya lebih suka melihat iklan di majalah atau bertanya langsung ke penjual sebagai pertimbangan membeli produk,” tambahnya.

Zulaena Elsita, mahasiswa Pascasarjana Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menambahkan, belum ada iklan yang benar-benar mendidik bagi masyarakat. “Walaupun itu Iklan Layanan Masyarakat, pada akhirnya hanya bertujuan membangun image atau citra suatu instansi tertentu,” jelasnya. “Walaupun kontennya diisi dengan hal-hal yang berbau positif, intinya tetap satu, promosi produk,” tambah Zulaena.

Febrian Zulkarnain melihat adanya dualisme pada iklan kita. “Banyak iklan yang bagus tapi tidak mendidik, tetapi ada juga iklan yang mendidik, tetapi tidak menarik,” kata mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ini. Menurutnya, Iklan Layanan Masyarakat sudah mendidik, tapi penyampaiannya terlalu formal, “Kurang greget! Saya jadi ingin belajar membuat iklan yang mendidik masyarakat agar tidak terpengaruh oleh konsumerisme, dan menjadi lebih produktif,” tambahnya.

Hak Masyarakat

Anggota Layanan Konsumen Yogyakarta (LKY), R. Dwi Priyono, SH berpendapat, sudah banyak iklan yang baik, yang menonjolkan segi keagamaan atau pengetahuan. Namun ada juga iklan yang tidak sehat yang melanggar kode etik. Untuk itu, ia menyoroti pentingnya peran serta masyarakat. “Semua kembali ke kesadaran masyarakat untuk melihat iklan dengan lebih bijak, walaupun di sisi lain, masyarakat juga berhak untuk mendapatkan iklan yang baik dan mendidik,” tegasnya. “Karena itu, LKY telah bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah untuk mensosialisasikan iklan yang baik kepada masyarakat,” tambahnya.

Terkait dengan hak masyarakat, Dr. Iswandi Syahputra, M.Si, anggota KPI Pusat menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk mengadukan iklan yang sekiranya melanggar etika atau merugikan. “KPI mempunyai layanan pengaduan masyarakat tentang isi siaran, termasuk iklan. Jadi kalau ada iklan seperti itu, adukan saja kepada KPI, kita akan menindaklanjutinya,” tegasnya. (Tim UIN Suka)