KREATIF TAPI KURANG BERETIKA
Keberadaan iklan bagaimanapun sangat penting dan berpengaruh dalam menentukan posisi sebuah produk (barang dan Jasa). Tujuan iklan adalah untuk memperkenalkan produk dengan segala fungsi dan kelebihannya, sehingga pada akhirnya konsumen tertarik untuk membeli atau menggunakannya. Karena itu, iklan adalah “roh” bagi produk itu sendiri. Begitu pentingnya periklanan, bahkan ada yang menyebut tanpa iklan sebuah produk akan sulit bersaing. Produk juga sulit memposisikan dirinya dalam ‘belantara’ persaingan regional apalagi global jika melupakan iklan.
Tuntutan dan kebutuhan untuk beriklan didukung begitu beragamnya produk barang dan jasa, membuat ruang publik kita dipenuhi oleh iklan. Mulai dari iklan televisi yang nyaris tak pernah terputus, radio, koran, majalah, spanduk dan billboard, bahkan hingga ke gang dan warung-warung kecil.
Padatnya ‘lalu lintas’ iklan ini mendorong penyedia dan pembuat iklan untuk membuat iklan semenarik mungkin agar mampu mencuri perhatian publik. Sayangnya, iklan yang ‘menarik’ ini seringkali diterjemahkan ke dalam bentuk iklan yang mengangkat tema-tema bombastis dan mengada-ada. Banyak iklan yang kemudian melupakan etika dan norma-norma dengan menampilkan tema yang tidak sesuai dengan budaya kita.
Dari segi kreatifitas, para pembuat iklan kita dianggap sudah cukup kreatif. Sutiman, seorang penjual jajanan mengakui hal itu. “Sebenarnya iklan di Indonesia itu bagus-bagus, bisa dilihat dari tayangan televisi dan spanduk-spanduk yang ada. Kalau bisa, saya juga mau dibuatkan iklan untuk dagangan saya dan jualan jamu istri saya,” katanya sambil tertawa.
Hanya saja, dari segi konten masih banyak yang mempertanyakan, bahkan ada yang merasa dirugikan oleh iklan. “Saya pernah terjebak dengan iklan gratis ringtone. Saya kira benar-benar gratis, ternyata setelah itu pulsa saya terkuras oleh SMS (layanan pesan singkat) yang tidak saya butuhkan,” kata Maman, seorang penjahit keliling. “Itu sih penipuan. Saya kapok, akhirnya saya buang saja kartunya dan beli yang baru,” tambahnya.
Indah Sulistyowati, mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta melihat iklan di Indonesia saat ini banyak yang tidak beretika. “Bukannya mengangkat keunggulan produknya, tetapi malah saling menjatuhkan. Ini kan menimbulkan pesan dari komunikasi yang kurang baik,” katanya. Menurut Indah, contoh iklan yang kurang beretika adalah iklan sebuah provider telepon seluler, “Yang satu membuat iklan, yang satu mengejeknya. Tidak ada etika yang baik dalam beriklan dan berkompetisi.”
Senada dengan Indah, Bangiati Kurniastuti, S.Pd, mengatakan iklan kita masih kurang mendidik. Kalaupun ada jumlahnya masih sedikit. “Pembuat iklan boleh saja berkreatifitas, tetapi harusnya bisa mendorong motivasi dan mengandung pelajaran yang bisa dipetik,” papar Guru SMK Putra Samoedra Yogyakarta ini. Bangiati juga menilai iklan telah menimbulkan dampak yang besar tehadap gaya hidup masyarakat. Meski begitu, ia mengaku jarang tertarik membeli barang dari iklan di TV, “Saya lebih suka melihat iklan di majalah atau bertanya langsung ke penjual sebagai pertimbangan membeli produk,” tambahnya.
Zulaena Elsita, mahasiswa Pascasarjana Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta menambahkan, belum ada iklan yang benar-benar mendidik bagi masyarakat. “Walaupun itu Iklan Layanan Masyarakat, pada akhirnya hanya bertujuan membangun image atau citra suatu instansi tertentu,” jelasnya. “Walaupun kontennya diisi dengan hal-hal yang berbau positif, intinya tetap satu, promosi produk,” tambah Zulaena.
Febrian Zulkarnain melihat adanya dualisme pada iklan kita. “Banyak iklan yang bagus tapi tidak mendidik, tetapi ada juga iklan yang mendidik, tetapi tidak menarik,” kata mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga ini. Menurutnya, Iklan Layanan Masyarakat sudah mendidik, tapi penyampaiannya terlalu formal, “Kurang greget! Saya jadi ingin belajar membuat iklan yang mendidik masyarakat agar tidak terpengaruh oleh konsumerisme, dan menjadi lebih produktif,” tambahnya.
Hak Masyarakat
Anggota Layanan Konsumen Yogyakarta (LKY), R. Dwi Priyono, SH berpendapat, sudah banyak iklan yang baik, yang menonjolkan segi keagamaan atau pengetahuan. Namun ada juga iklan yang tidak sehat yang melanggar kode etik. Untuk itu, ia menyoroti pentingnya peran serta masyarakat. “Semua kembali ke kesadaran masyarakat untuk melihat iklan dengan lebih bijak, walaupun di sisi lain, masyarakat juga berhak untuk mendapatkan iklan yang baik dan mendidik,” tegasnya. “Karena itu, LKY telah bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah untuk mensosialisasikan iklan yang baik kepada masyarakat,” tambahnya.
Terkait dengan hak masyarakat, Dr. Iswandi Syahputra, M.Si, anggota KPI Pusat menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk mengadukan iklan yang sekiranya melanggar etika atau merugikan. “KPI mempunyai layanan pengaduan masyarakat tentang isi siaran, termasuk iklan. Jadi kalau ada iklan seperti itu, adukan saja kepada KPI, kita akan menindaklanjutinya,” tegasnya. (Tim UIN Suka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar