Dituntut Melahirkan SDM yang Mandiri
Globalisasi telah membuat batas-batas antar negara menjadi semakin kabur. Kini masyarakat dunia telah menjadi satu komunitas, pergerakan orang dan barang tidak lagi terhalang oleh sekat politis dan geografis. Orang dapat berpindah dari suatu belahan dunia ke belahan dunia lain dalam hitungan menit. Barang-barang hasil produksi suatu negara dengan mudah dapat ditemui di negara lain yang letaknya berjauhan. Hal tersebut meningkatkan ketergantungan antar negara untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Kondisi inilah yang mendorong dibukanya era pasar bebas.
Salah satu tindak lanjut dari adanya pasar bebas yakni penandatanganan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China, dimana negara-negara ASEAN bisa dengan bebas menjual produknya di China, begitu pun sebaliknya. Idealnya, ada keseimbangan pasar antara China dengan ASEAN. Akan tetapi kenyataannya, justru produk China yang lebih mendominasi pasar ASEAN, terutama di Indonesia. Sementara produk kita, tidak banyak yang bisa menembus pasar China.
Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia menunjukkan, ada beberapa sektor yang terkena dampak perjanjian ACFTA, di antaranya elektronika, furnitur, produk logam, permesinan, dan tekstil. Produk-produk China tampil dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang kemudian menyebabkan produk China mudah diterima konsumen Indonesia. Romli, seorang pengelola warung makan yang menggunakan handphone buatan China membenarkan hal ini. “Disamping murah, produk China banyak pilihannya. Selain itu fiturnya lengkap dan tampilannya tidak kalah dengan merk ternama,” tuturnya.
Kondisi ini jelas mengancam keberlangsungan industri kecil dan menengah dalam negeri. Apalagi produk China mulai menyaingi produk lokal seperti mainan anak-anak, pakaian, hingga peralatan rumahtangga sederhana. Bahkan, batik yang sudah diakui sebagai warisan budaya asli Indonesia, mulai disaingi oleh produk batik buatan China yang membanjiri pasar dengan harga yang lebih murah. “Untungnya, orang sudah tahu mana batik yang kualitasnya bagus dan mana yang murahan,” ungkap Parmi, pengrajin batik tulis di Pasar Beringharjo Yogyakarta, yang mengaku sementara ini belum merasa terancam dengan kehadiran batik buatan China.
Akan tetapi bila pemerintah membiarkan hal ini, tentu banyak UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dalam negeri yang terancam keberlangsungan usahanya. Menurut Rara Wulan Dwi, untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap produk luar dan tergulingnya UKM dari pasar bebas, pemerintah harus ikut turun tangan. ”Harus ada bantuan dari pemerintah dan dukungan dari semua elemen masyarakat agar UKM dapat bertahan,” ujar mahasiswi STIE YKPN Yogyakarta ini.
Terkait hal ini, Budi Santoso, Kepala Sub-Direktorat Ekonomi Kreatif Kementerian Perdagangan RI menuturkan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk lokal, seperti dengan mengikutkan produk-produk Indonesia dalam World Expo 2010.
Budi menambahkan, pemerintah telah melakukan antisipasi dengan membentuk Tim Peningkatan Daya Saing. Salah satu programnya adalah gerakan ‘Aku Cinta Indonesia’ yang bertujuan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. “Kadang-kadang ketika produk dan kualitas sama, kita masih memilih produk dari luar. Jika kita mau mengamankan pasar dalam negeri, tentu kita harus mau menggunakan produk bangsa sendiri. Pola pikir inilah yang harus kita rubah!” tandas Budi.
SDM Mandiri
Kalangan pengusaha juga harus memiliki rasa percaya diri dengan produk yang dihasilkannya. Begitupun dengan mahasiswa, sebagai calon entrepreneur muda jangan takut untuk terus berkreasi. Wahyu Aditya, pemilik studio Hello;Motion mencontohkan animasi adalah produk kreatif yang tidak memerlukan modal besar tetapi sangat potensial. “Salah satu produk animasi saya digunakan sebagai media promosi pariwisata ASEAN. Kalau ini digarap serius, potensinya sangat besar. Di Jepang, produk animasi seperti ‘Pokemon’ bisa menghasilkan total Rp. 150 trilliun,” paparnya.
Menurut Wahyu kuncinya adalah percaya diri. “Kita jangan terlalu minder atau mudah menyerah karena alasan-alasan klise, misalnya kita hanya seorang mahasiswa yang belum punya modal,” tutur pemenang International Young Creative Entrepreneur 2007 dari British Council ini.
Gagasan mendorong SDM yang kreatif dan produktif, didukung oleh Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, pengusaha yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurut Musa dunia pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak lulusan yang kreatif, produktif, dan mandiri. “Pendidikan harus memberi bekal kepada mahasiswa untuk dapat membaca trend dari kehidupan masyarakat, sehingga bisa membaca peluang-peluang bisnis ke depan. Bangsa kita memerlukan entrepreneur yang berpendidikan agar bisa bersaing dengan pelaku bisnis global yang pada umumnya berpendidikan tinggi,” tegasnya. Tim UIN Suka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar