Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak pendidikan setiap warga negaranya. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi dari pihak manapun. Begitu juga dengan orang-orang berkebutuhan khusus (difabel). Dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan mereka dengan masyarakat umum. Dengan begitu, orang tua bisa mendaftarkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah umum.
Hak pendidikan bagi difabel adalah sama dengan hak pendidikan orang kebanyakan. Mereka berhak untuk bersekolah di sekolah unggulan, mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki. Penyediaan sarana belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap kebutuhan mahasiswa difabel, sehingga mereka bisa mengakses materi-materi pembelajaran dengan baik.
Aksesibilitas sistem pendidikan dapat dilihat dari dua aspek yaitu material dan non-material. Aspek material yaitu aspek yang berbentuk fisik meliputi bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan aspek non-material dapat berupa penumbuhan lingkungan yang mengerti serta mendukung aksesibilitas sistem pendidikan untuk difabel. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengadaan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Pusat studi semacam ini telah ada di beberapa kampus, salah satunya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Menurut Handayani, wakil direktur PSLD UIN Sunan Kalijaga, di antara kampus lain di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga termasuk salah satu kampus yang sudah peduli meskipun sistem pendidikannya sendiri masih belum ideal. “Sekarang ini UIN Suka masih mencoba sistem pendidikan yang aksesibel untuk mereka. Paling tidak dengan berdirinya PSLD ini ada satu unit di kampus yang mengawal terlaksananya pendidikan yang aksesibel untuk difabel,” ungkapnya.
Aksesibilitas
Selain fasilitas, masalah lain yang perlu segera ditangani adalah perlakuan terhadap mahasiswa difabel. Penerimaan terhadap mereka bermacam-macam. ”Ada yang positif, negatif, menolak, bahkan merendahkan,” kata M. Joni Yulianto, mahasiswa difabel yang kini sekolah di National University of Singapore. “Disinilah pentingnya sebuah motivasi yang luar biasa bagi kami (difabel) untuk bertahan dalam lingkungan yang demikian. Kita harus merubah mindset negatif masyarakat yang beranggapan difabel itu lemah,” tambahnya.
Sosialisasi terhadap seluruh dosen mengenai difabelitas juga perlu diadakan. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop serta pengadaan buku panduan cara mengajar untuk masing-masing dosen. “Perlu adanya motivasi serta perhatian dari semua dosen, jadi bukan dosen-dosen tertentu saja yang mengerti (difabel),” tutur Ambar, Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setiap dari mereka ingin mendapatkan perlakuan yang adil, tidak membedakan kelasnya. Praktek pemisahan kelas ataupun lingkungan sosial tidak diperkenankan dalam sistem pendidikan. Selain kebutuhan untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, hal tersebut juga dapat menghambat mereka untuk berkarya dan mengeksplorasi kemampuannya. “Mereka harus bisa hidup di masyarakat yang riil yaitu masyarakat yang plural,” tambahnya. Oleh karena itu peran serta masyarakat juga sangat penting bagi perkembangan skill mahasiswa difabel.
Kemampuan anak-anak difabel sebenarnya sama anak-anak normal lainnya. “Tinggal bagaimana kita mengupas potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka bisa self eksperiment, mengembangkan serta memaksimalkan potensi-potensi yang mereka miliki,”tutur Handayani. Seyogyanya, sistem pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya. “Saya berharap Adanya kebijakan kampus yang lebih merespon kebutuhan mereka serta diterapkannya sistem akademik yang lebih menghormati difabel,” pungkasnya.
Hak pendidikan bagi difabel adalah sama dengan hak pendidikan orang kebanyakan. Mereka berhak untuk bersekolah di sekolah unggulan, mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki. Penyediaan sarana belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap kebutuhan mahasiswa difabel, sehingga mereka bisa mengakses materi-materi pembelajaran dengan baik.
Aksesibilitas sistem pendidikan dapat dilihat dari dua aspek yaitu material dan non-material. Aspek material yaitu aspek yang berbentuk fisik meliputi bangunan-bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan aspek non-material dapat berupa penumbuhan lingkungan yang mengerti serta mendukung aksesibilitas sistem pendidikan untuk difabel. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengadaan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Pusat studi semacam ini telah ada di beberapa kampus, salah satunya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Menurut Handayani, wakil direktur PSLD UIN Sunan Kalijaga, di antara kampus lain di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga termasuk salah satu kampus yang sudah peduli meskipun sistem pendidikannya sendiri masih belum ideal. “Sekarang ini UIN Suka masih mencoba sistem pendidikan yang aksesibel untuk mereka. Paling tidak dengan berdirinya PSLD ini ada satu unit di kampus yang mengawal terlaksananya pendidikan yang aksesibel untuk difabel,” ungkapnya.
Aksesibilitas
Selain fasilitas, masalah lain yang perlu segera ditangani adalah perlakuan terhadap mahasiswa difabel. Penerimaan terhadap mereka bermacam-macam. ”Ada yang positif, negatif, menolak, bahkan merendahkan,” kata M. Joni Yulianto, mahasiswa difabel yang kini sekolah di National University of Singapore. “Disinilah pentingnya sebuah motivasi yang luar biasa bagi kami (difabel) untuk bertahan dalam lingkungan yang demikian. Kita harus merubah mindset negatif masyarakat yang beranggapan difabel itu lemah,” tambahnya.
Sosialisasi terhadap seluruh dosen mengenai difabelitas juga perlu diadakan. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop serta pengadaan buku panduan cara mengajar untuk masing-masing dosen. “Perlu adanya motivasi serta perhatian dari semua dosen, jadi bukan dosen-dosen tertentu saja yang mengerti (difabel),” tutur Ambar, Sarjana Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setiap dari mereka ingin mendapatkan perlakuan yang adil, tidak membedakan kelasnya. Praktek pemisahan kelas ataupun lingkungan sosial tidak diperkenankan dalam sistem pendidikan. Selain kebutuhan untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, hal tersebut juga dapat menghambat mereka untuk berkarya dan mengeksplorasi kemampuannya. “Mereka harus bisa hidup di masyarakat yang riil yaitu masyarakat yang plural,” tambahnya. Oleh karena itu peran serta masyarakat juga sangat penting bagi perkembangan skill mahasiswa difabel.
Kemampuan anak-anak difabel sebenarnya sama anak-anak normal lainnya. “Tinggal bagaimana kita mengupas potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka bisa self eksperiment, mengembangkan serta memaksimalkan potensi-potensi yang mereka miliki,”tutur Handayani. Seyogyanya, sistem pendidikan harus bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya. “Saya berharap Adanya kebijakan kampus yang lebih merespon kebutuhan mereka serta diterapkannya sistem akademik yang lebih menghormati difabel,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar