Wawancara dengan Muhammad Joni Yulianto
Mahasiswa S-2 National University of Singapore.
Pendidikan yang inklusif (terbuka) sudah seharusnya diterapkan dalam perguruan tinggi, terutama bagi perguruan tinggi yang didalamnya terdapat mahasiswa difabel atau berkebutuhan khusus. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Demikian diutarakan oleh Muhammad Joni Yulianto mahasiswa tuna netra yang sedang melanjutkan studi S2-nya di National University of Singapore.
Idealnya, menurut Joni, semua peserta didik termasuk difabel memperoleh sistem pendidikan yang adil. Adil disini diartikan sebagai sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. “Meskipun wacana untuk mengakomodasi difabel secara lebih baik melalui sistem pendidikan tinggi yang lebih ramah telah ada, namun pada prakteknya saya belum melihat ini sebagai sebuah upaya yang sistemik untuk betul-betul memberikan ruang yang adil bagi difabel,” ungkap mahasiswa yang kini aktif dalam Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).
Menurut Alumni University of Leeds, UK ini, belum ada pelayanan yang mendukung dan sistematis dari lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi terhadap mahasiswa difabel. Hal ini terlihat dari lemahnya aksesibilitas difabel yang sebagian orang memaknainya hanya sebatas ketersediaan teknologi seperti komputer bicara untuk tunanetra, lingkungan fisik yang memudahkan, serta bentuk akomidasi fisik lainnya. “Seharusnya aksesibilitas lebih dari itu, ia merupakan sebuah adaptasi yang dihasilkan dari sebuah sistem yang mempertimbangkan keberadaan peserta didik secara adil dengan keberbedaannya masing-masing, sehingga sistem itu bukan hanya berpihak atau mengakomodasi kelompok mayoritas saja, melainkan bersifat universal,” tegas joni.
Joni berharap, pemerintah serta penyelenggara pendidikan segera membentuk sebuah wadah pendidikan yang inklusif bagi semua peserta didik. “Berbekal inisiatif-inisiatif yang sudah mulai dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, saya mengajak agar mulai dipikirkan sebuah sistem yang inklusif yang benar-benar berusaha memberikan layanan pendidikan yang adil, bukan hanya bagi difabel melainkan bagi setiap warga negara yang berhak atas pendidikan,” pungkasnya.
Idealnya, menurut Joni, semua peserta didik termasuk difabel memperoleh sistem pendidikan yang adil. Adil disini diartikan sebagai sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. “Meskipun wacana untuk mengakomodasi difabel secara lebih baik melalui sistem pendidikan tinggi yang lebih ramah telah ada, namun pada prakteknya saya belum melihat ini sebagai sebuah upaya yang sistemik untuk betul-betul memberikan ruang yang adil bagi difabel,” ungkap mahasiswa yang kini aktif dalam Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).
Menurut Alumni University of Leeds, UK ini, belum ada pelayanan yang mendukung dan sistematis dari lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi terhadap mahasiswa difabel. Hal ini terlihat dari lemahnya aksesibilitas difabel yang sebagian orang memaknainya hanya sebatas ketersediaan teknologi seperti komputer bicara untuk tunanetra, lingkungan fisik yang memudahkan, serta bentuk akomidasi fisik lainnya. “Seharusnya aksesibilitas lebih dari itu, ia merupakan sebuah adaptasi yang dihasilkan dari sebuah sistem yang mempertimbangkan keberadaan peserta didik secara adil dengan keberbedaannya masing-masing, sehingga sistem itu bukan hanya berpihak atau mengakomodasi kelompok mayoritas saja, melainkan bersifat universal,” tegas joni.
Joni berharap, pemerintah serta penyelenggara pendidikan segera membentuk sebuah wadah pendidikan yang inklusif bagi semua peserta didik. “Berbekal inisiatif-inisiatif yang sudah mulai dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi, saya mengajak agar mulai dipikirkan sebuah sistem yang inklusif yang benar-benar berusaha memberikan layanan pendidikan yang adil, bukan hanya bagi difabel melainkan bagi setiap warga negara yang berhak atas pendidikan,” pungkasnya.