Keberadaan kedai kopi dan coffee shop sangat dekat dengan kehidupan sebagian besar mahasiswa. Bahkan kini cenderung menjadi gaya hidup. Di Yogyakarta kedai-kedai kopi menjamur di area dekat berbagai kampus. Selain itu, beberapa kedai kopi juga berdiri dan tersentral di komplek tertentu seperti daerah Selokan Mataram.
Nongkrong di warung kopi merupakan alternatif kegiatan yang biasa dilakukan mahasiswa diantara atau seusai jam kuliah. Hal ini karena kedai kopi merupakan tempat yang cukup nyaman untuk sekedar kongkow, mengerjakan tugas-tugas kuliah, memperlebar jaringan pertemanan, hingga berdiskusi topik-topik yang sedang booming.
Kedai-kedai kopi tersebut selalu penuh sesak dengan mahasiswa. Harga yang terjangkau, suasana yang nyaman dan lokasi yang tidak jauh dari kampus disinyalir sebagai pendukungnya. Fasilitas tambahan berupa hotspot gratis untuk jaringan internet pun telah menjadi keharusan. Sehingga beberapa mahasiswa menjadi betah, walau datang sendiri.
Habiburrohman, mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), mengaku gemar mengunjungi kedai kopi untuk sekedar ngobrol santai bersama teman-temannya. “Sepulang kuliah saya sering nongkrong di kedai kopi besama teman kelas, karena kami merasa ini sebagai sarana untuk refreshing dan melepas penat dari tugas yang menumpuk,” tambahnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Muhammad Ihsan, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ketika jeda jam kuliah yang cukup panjang, ia lebih memilih menghabiskan waktu di keda kopi. Ia lebih memilih menunggu di kedai kopi daripada pulang ke kos-kosannya. “Awalnya sih diajak sama teman, katanya nongkrong di kedai kopi itu asyik. Karena penasaran, ya sudah saya kemudian ikut saja. Dan malah menjadi kebiasaan saya sekarang,” akunya.
Melalui perbincangan santai dan diskusi di kedai kopi, sebagian besar mahasiswa mengaku banyak mendapat ide dan inspirasi. Ika Ulwiyatul Lutfah, mahasiswa Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku banyak mendapat ide segar saat ngobrol dengan temannya. Ide-ide tersebut dia aplikasikan dalam berbagai proyek penelitian yang ditanganinya. “Mungkin karena saat ngobrol santai di kedai kopi, otak kita lagi relaks dan tidak ada tekanan, berpikir rasanya jadi lebih mudah. Sehingga ketika mencari inspirasi, banyak ide-ide yang muncul secara tak terduga”, ungkapnya.
Namun aktivitas di kedai kopi yang cenderung menguras waktu, tentu akan bermanfaat jika dilakukan dengan manajemen waktu yang tepat. Tidak seluruh waktu dapat dihabiskan di kedai kopi. “Saya biasanya ke kedai kopi kalau besoknya libur. Atau setelah saya memastikan terlebih dahulu kalau besoknya tidak ada tugas yang harus dikerjakan. Jadi saya kekedai kopi kalau benar-benar free,” jelas Agus Prasetyo, mahasiswa Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dampak negatif akibat intensitas yang tinggi nongkrong di kedai kopi dialami oleh Ali Mustofa, mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Ia mengaku kebiasaan nongkrong di warung kopi membuatnya susah untuk bangun pagi. “Karena kebiasaan ngobrol sampai larut malam sudah menjadi hal yang wajar di warung kopi, saya terkadang terlena. Sehingga susah bangun pagi. Tugas-tugas kuliah pun sering keteteran,” terang Ali.
Menurut Rini Juni Astuti, dosen Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, keberadaan kedai kopi atau coffee shop bila dijadikan tempat diskusi dan sharing akan memberikan banyak unsur positif dan manfaat bagi mahasiswa atau orang-orang yang datang ke sana. Terlebih dewasa ini terdapat fasilitas online atau hotspot yang dapat menunjang mahasiswa untuk lebih enjoy saat diskusi dan menambah ilmu. Yang penting ada esensi edukasi di kedai kopi dan coffee shop sehingga keberadaannya bermanfaat bagi mahasiswa.
“Kedai kopi akan mengandung tempat yang tidak baik jika ditambahi dengan unsur-unsur hedonis. Coffee shop atau kedai kopi saat ini telah menjadi lifestyle. Keberadaan coffee shop atau kedai kopi tentu saja membawa dampak bagi mahasiswa. Dengan adanya kedai kopi, keinginan mahasiswa untuk diskusi, silaturahmi, mengerjakan tugas secara online, menjadi lebih tinggi. Hal ini akan membuat kehidupan mahsiswa menjadi lebih baik dan berwarna. Yang tidak bermanfaat adalah jika kedai kopi digunakan sebagai tempat hura-hura semata,” papar Rini.
Di sisi lain Drs. W. Pandapotan Rambe, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga mempunyai pendapat yang agak berbeda. Menurutnya, dengan adanya fasilitas wifi membuat kesadaran mahasiswa akan isu sosial semakin tipis dan mereka lebih menjujung kebutuhan individu mahasiswa. Dosen yang gemar berdiskusi di kedai kopi sejak mahasiswa ini menambahkan, bahwa dengan kemajuan teknologi kesadaran sosial mahasiswa berkurang. “Akan lebih bagus jika membuat etalase buku di kedai kedai kopi atau di coffee shop, sesuai dengan ciri khas masing-masing kedai kopi. Hehe,” pungkasnya sambil tertawa. (Mufid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar