Tahukah anda, ternyata rokok kretek dulunya terinspirasi dari obat asma?
Begini ceritanya…
Sejarah industri rokok kretek di Indonesia tak dapat dipisahkan dari sosok Haji Djamahri, seorang penduduk di Kudus. Pada suatu waktu di tahun 1880, Haji Djamahari yang telah lama mengidap penyakit asma mencoba mengobati penyakitnya. Ia menggosok-gosokkan minyak cengkeh ke bagian dada dan punggungnya. Cara ini cukup berhasil mengurangi rasa sakitnya, walaupun belum sembuh total. Selanjutnya ia mencoba mengunyah cengkeh yang ternyata membuatnya jauh lebih baik. Sehingga terlintas dalam fikirannya untuk memasukkan cengkeh ke dalam paru-parunya.
Haji Djamhari kemudian merajang cengkeh hingga halus, lalu dicampurkan dalam tembakau yang biasa ia gunakan untuk merokok. Dengan cara ini ia dapat menghisap asap cengkeh yang bercampur tembakau tersebut. Tanpa diduga, penyakit asmanya sembuh.
Cara pengobatan ini dengan cepat dikenal oleh masyarakat sekitar tempat Haji Djamhari tinggal. Keluarga dan teman-temannya mulai banyak memesan rokok mujarab yang dihisapnya. Hingga memaksa Haji Djamhari membuat rokok campuran cengkeh dalam jumlah besar. Banyak orang yang kemudian mencoba mengikuti jejaknya, sehingga lahirlah industri rokok di Kudus.
Pada awalnya, masyarakat Kudus menyebut jenis rokok hasil temuan Haji Djamhari sebagai “rokok cengkeh”. Namun, karena rokok ini menimbulkan suara “kretek-kretek” saat dihisap akibat campuran rajangan cengkeh, rokok ini kemudian dinamakan “rokok kretek”. Nama ini merupakan contoh penggunaan bahasa anomatopeia untuk objek yang namanya berasal dari bunyi yang dihasilkan.
Pada tahun-tahun pertama kelahirannya, perdagangan rokok kretek hanya terbatas di Kudus dan sekitarnya. Namun, dalam waktu singkat rokok kretek juga digemari di daerah-daerah lain. Sedikit demi sedikit jangkauan pasar rokok kretek meluas, menjangkau berbagai daerah di dalam dan luar pulau Jawa.
Nah, bagi para perokok, bagaimana pendapat anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar