Ada cerita, moga berguna...
Sebuah cerita sore hari ini. Saya persembahkan untuk orang tua, calon orang tua, guru, pendidik dan semua orang yang berinteraksi dengan anak-anak.
Tadi sehabis maghrib, seperti biasa saya mengajar ngaji anak-anak di masjid dekat kos. Namun, ada yang mengejutkan saya hari ini. Di salah satu sudut masjid ada seorang ibu, yang merupakan guru ngaji tetap di masjid itu, sedang marah dengan hebat.
Perkaranya ada salah satu anak yang dituduh "melompat" halaman, sehingga hampir khatam (selesai-Pen) lebih cepat. Si anak berusaha membela diri dengan nada lirih. Namun si ibu semakin keras memarahi si anak. Hingga akhirnya si anak menangis. Si ibu tak kunjung berhenti memarahi.
Saya tidak tahu siapa yang benar dalam kondisi ini. Saya hanya amat sangat kecewa dengan cara si ibu. Dalam hati saya bertanya, "Bu, anda mau mengajar anak mengaji atau malah mau membuat anak kapok mengaji? Apa ibu tidak berfikir akibat jangka panjang kemarahan berlebihan ini?"
Bisa jadi si anak memang salah. Namun saya kurang setuju jika dia dihakimi sedemikian rupa dihadapan teman-temannya. Menurut saya, anak-anak memang terkadang mempermainkan sesuatu. Mengaji sambil bermain. Sholat sambil bermain. Belajar sambil bermain. Namun, itulah dunia mereka. Kita saja lah yang terlalu serius. Dan memaksa anak-anak untuk ikut serius.
Kejadian serupa mungkin bukan kali pertama terjadi. Di tempat-tempat belajar lain, di ruang-ruang kelas, bahkan di rumah pun, anak-anak selalu menjadi objek pelampiasan emosi kita para orang tua. Anak-anak bukanlah seperti tanah liat yang bisa bebas kita bentuk dan warnai menjadi keramik seperti yang kita suka. Mereka terlahir dengan bentuk dan warnanya sendiri.
Tugas kita adalah menempatkannya pada tempat yang tepat, memolesnya agar warnanya semakin cerah dan merawatnya agar mereka bisa menjadi keramik yang bernilai tinggi. Jika mereka salah, kita bisa memberi nasehat dengan cara yang bisa diterima mereka. Kita sebagai orang tua, katanya lebih dewasa, lah yang harus menyesuaikan diri dengan anak-anak.
Sambil terus melanjutkan mengajar ngaji, tidak sadar si anak sudah duduk di belakang saya sambil tersedu. Saya menoleh, merangkul dan mengusap kepalanya sambil berusaha menghibur.
"Sudah ya dek, jangan nangis terus. Cah lanang kok (anak laki-laki kok-Pen). Ntar mas aja yang ngajar ngaji. Sekarang kita tos dulu"
Si anak membalas tos saya dan kemudian tangisnya terhenti. Saya pun tersenyum.
Anak-anak memang hanya butuh dimengerti :)